Oleh: Hasanul Rizqa
Keturunan alim klasik Kesultanan Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ini ditempa dengan penuh disiplin. Nama aslinya adalah Muhammad Zaini Abdul Ghani. Sosok ini lebih dikenal dengan sebutan Guru Sekumpul, sesuai dengan daerah yang menjadi pusat pengajarannya.
Dia lahir pada 11 Februari 1942 di Kampung Tunggul Irang Seberang, Martapura, Kalimantan Selatan. Ulama yang juga pakar tasawuf dan syariat ini wafat dalam usia 63 tahun pada 2005 lalu di Martapura.
Muhammad Zaini kecil menerima pendidikan dasar di dekat desanya, Kampung Keraton. Keturunan alim klasik Kesultanan Banjar, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ini ditempa dengan penuh disiplin oleh orang tua dan para gurunya, terutama untuk mengaji Alquran. Dengan kesungguhan dan penuh semangat, dia mendalami ilmu-ilmu agama.
Bahkan, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Muhammad Zaini kecil sudah hafal Alquran saat masih berusia tujuh tahun. Dia juga disebut-sebut memiliki karamah yang karenanya kelak ketika dewasa ia dipandang masyarakat sebagai seorang wali Allah (waliyullah).
Seperti dikutip dari artikel Mirhan AM yang terbit di Jurnal Ilmu Ushuluddin (Januari 2012), pada usia tujuh tahun Muhammad Zaini belajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura. Di antara guru-gurunya yang berjumlah total 179 orang itu adalah KH Husin Qadri, Seman Mulya, Syekh Salman Jalil, Syekh Syarwani Abnan (Bangil), dan Syekh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi. Kiai Husin merupakan penulis buku Senjata Mukmin, sedangkan Seman Mulya adalah paman Muhammad Zaini.
Selain itu, ada pula Kiai Falak (Bogor), Syekh Yasin bin Isa al-Fadani (Padang), Syekh Hasan Masyath, Syekh Ismail al-Yamani, dan Syekh Abdul Kadir al-Bar. Selanjutnya, dari lingkungan Kalimantan Selatan sendiri ada Guru Sulaiman, Guru Haji Abdul Hamid Husein, Guru Haji Mahalli Abdul Qadir, dan Guru HM Husein Dahlan.
Dalam artikelnya di Jurnal al-Banjari (2011), Ahmad Zakki Mubarak menjelaskan, pendidikan lanjutan tokoh ini dilakukan di Madrasah Darussalam Pesayangan, Martapura. Muhammad Zaini menempuhnya hingga dirinya berusia 20 tahun. Kemudian, dia hijrah ke Bangil, Jawa Timur, untuk menimba ilmu di sejumlah pesantren setempat.
Begitu lulus dari sana, dia kembali ke Martapura untuk mengajar di Pondok Pesantren Darussalam, setidaknya selama lima tahun. Di luar lingkungan sekolah, Muhammad Zaini juga menggelar pengajian di kediaman pribadinya serta lingkungan Keraton Martapura sejak 1970-an. Pada 1988, lokasi kegiatan keagamaan ini berpindah ke Kompleks Sekumpul, Martapura, yang berada tak jauh dari Masjid ar- Raudhah.
Oleh karena itu, alim ini kerap dipanggil sebagai Abah Guru Sekumpul. Para peserta pengajiannya berasal dari dalam dan luar Kalimantan Selatan. Bahkan, tidak sedikit yang datang dari mancanegara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Yaman.
Abah Guru Sekumpul juga merupakan seorang ulama yang prolifik. Beberapa karyanya ditulis dengan memakai aksara Arab Melayu. Untuk menyebutkan sejumlah buah tangannya, di antaranya adalah Manaqib Wali Allah Ta'ala Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Qadiry al-Hasani as-Samman al-Madani, Al-Risalah al-Nuraniyyah fi Syarhi al- Tawassulat al-Sammaniyah, dan Al-Imdad fi Aurad Ahl al-Widad.
Selain itu, ulama besar dari Kalimantan Selatan ini juga mengajarkan kitab-kitab yang ditulis para pengarang dari beragam fokus keilmuan Islam. Sebut saja, Ihya Ulum ad-Din karya Imam Ghazali; Kitab Sifat 20 karya Usman bin Abdullah bin al-Alawi; Al-'Ilmu an-Nabras fi at-Tanbih 'Ala Manhaj al-Akyasi karangan Sayyid Abdullah bin Alawi bin Hasan Al-Attas; serta Tanbih al-Mughtarin oleh Abdul Wahab Asy-Sya'rani.
Melalui buku yang tersebut belakangan itu, Abah Guru Sekumpul mengajarkan pentingnya meniru akhlak tiga generasi emas Islam, yakni para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin. Sebab, mereka begitu dekat dengan zaman Nabi Muhammad SAW serta meneladan beliau dengan sebaik-baiknya. Termasuk di antara warisan mereka ialah teguh meyakini Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW, baik dalam pemikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Akhlak lainnya yang sangat dianjurkan untuk diterapkan adalah berserah diri kepada Allah, ikhlas dalam berilmu dan beramal, serta tekad untuk berhijrah kepada kondisi yang lebih baik. Dalam tiap majelis yang digelarnya, Abah Guru Sekumpul selalu mengajak jamaah untuk meluruskan niat dalam ibadah kepada Allah, bersabar atas setiap ujian kehidupan, serta bersemangat untuk meningkatkan ketakwaan kepada-Nya. Umat Islam juga dianjurkan sedikit tertawa dan sering-sering menangis lantaran mengingat kematian (dzikrul maut). Takut hanya kepada Allah, merenungi makna kematian, serta berhati-hati (warak) terhadap syahwat dan perkara-perkara duniawi.
Mursyid tarekat
Di Kalimantan Selatan, Abah Guru Sekumpul masyhur sebagai pengajar Tarekat Sammaniyah. Aliran sufisme ini didirikan oleh seorang tokoh kelahiran Madinah al-Munawwarah (Arab Saudi), Syekh Muhammad bin Abdul Karim, yang berasal dari masa awal abad ke-18 M.
Beberapa sumber menyebutkan, tokoh yang membawa tarekat ini ke Kalimantan adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, kendati itu bukan satu-satunya tarekat yang diperkenalkannya kepada masyarakat setempat. Salah satu fokus ajaran dalam kelompok sufi ini adalah pentingnya seorang hamba berzikir kepada Allah.
Di Martapura dan sekitarnya, Abah Guru Sekumpul mengajarkan tarekat Sammaniyah kepada para muridnya, setidaknya mulai semarak sejak 1994. Sanad yang disambungkan dia berasal pula dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Seperti disarikan Ahmad Zakki Mubarak, Abah Guru Sekumpul memiliki sejumlah pengikut dalam kajian tarekat ini. Di antaranya adalah KH M Syukeri Unus (Amuntai), KH Sofyan Noor bin Haji Ahmad Sya'rani, KH Syamsuri bin Haji Muhrid, dan KH Munawar Gazali.
Sejak era 1970-an, pengajian-pengajian yang digelar Abah Guru Sekumpul memang menjabarkan Tarekat Sammaniyah. Kegiatan keagamaan ini dilaksanakan setiap pagi Rabu, Kamis dan Ahad, serta pada malam Rabu, Sabtu dan Ahad. Para pesertanya dapat mencapai jumlah ribuan orang. Mereka kebanyakan terdiri atas laki-laki dan sisanya perempuan pada malam Rabu ketika pengajian yang khusus kaum hawa digelar.
Masih menurut riset yang dilakukan Mubarak, para pengikut Tarekat Sammaniyah di pengajian Abah Guru Sekumpul mengaku terinspirasi. Mereka menyebutkan, ajaran-ajaran sang alim dapat memberikan kesadaran diri serta menambah kecintaan terhadap ilmu-ilmu agama Islam.
Pengajian ini juga menjadi wahana untuk mengembangkan syiar keagamaan di tengah masyarakat, khususnya Kalimantan Selatan. Materi-materi yang disampaikan berkaitan dengan persoalan kehidupan masyarakat sehari-hari, termasuk di antaranya ihwal akidah, tauhid, fikih, akhlak, tasawuf, dan tafsir.
Nasihat-nasihat dari Abah Guru Sekumpul menjadi pengingat bagi para jamaah. Misalnya, tentang perlunya menghormati ulama dan orang tua, sebagaimana perintah Allah dalam kitab suci Alquran. Selanjutnya, akhlak sosial terhadap sesama Muslim maupun umat manusia. Kemudian, pentingnya bersikap lapang dada dan berbaik sangka terhadap kehendak Allah.
Pengaruh Abah Guru Sekumpul sampai kepada tokoh-tokoh nasional ataupun internasional. Mirhan AM menyebutkan beberapa kalangan, mulai dari pejabat, petinggi militer, tokoh-tokoh sipil, hingga para alim ulama, yang kerap menyambangi kompleks pengajiannya di Martapura. Masih menurut Mirhan AM, dinamika terjadi di daerah Sekumpul begitu pengajian sang guru memengaruhi banyak pihak.
Orang-orang jadi gemar bermukim atau membeli tanah di sana. Tujuannya agar mereka dapat tinggal dekat dengan Abah Guru Sekumpul. Pihaknya sendiri juga merintis usaha perdagangan yang bermanfaat bagi orang-orang sekitar. Perusahaan yang berkembang sejak 2003 ini bernama al-Zahra dan kini dirintis bersama-sama dengan tokoh setempat bernama Haji Ahmad Ridwan.
Pada 10 Agustus 2005, Abah Guru Sekumpul wafat di kediamannya. Beberapa hari sebelumnya, sang mursyid Tarekat Sammaniyah telah mendapatkan perawatan medis lantaran penyakit gagal ginjal yang dialaminya.
Kabar duka menyelimuti seluruh umat Islam, khususnya di Kalimantan Selatan. Mereka benar-benar sedih lantaran kehilangan sosok teladan yang warak dan dekat di hati masyarakat. Ribuan jamaah berdesak-desakan saat mengantar jenazah sang guru ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Ulama karismatik ini telah tiada, tetapi nilai-nilai yang diajarkannya akan terus menyinari orang-orang yang belajar banyak darinya.
Mengenal Sammaniyah
Sammaniyah merupakan nama tarekat yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M). Ajaran sufi ini dibawa ke Nusantara oleh sejumlah pelajar Indonesia (Jawi) yang menuntut ilmu di Haramain.
Pada masa itu, ada empat orang Jawi yang memiliki perhatian cukup besar terhadap Tarekat Sammaniyah, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, dan Syekh Abdurrahman al-Masri (Betawi). Mereka ini terkenal pula dengan julukan “empat serangkai.”
Karena peran keempat tokoh tersebut, Tarekat Sammaniyah berkembang di Tanah Air; mulai dari Aceh, Sumatra Selatan, Jakarta (Betawi), Kalimantan (Banjar), hingga Sulawesi (Bugis). Keempatnya berjasa besar dalam memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Indonesia.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Awalnya, pendiri Tarekat Sammaniyah ini merupakan pengikut dari berbagai tarekat, seperti Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Ia kemudian memadukan berbagai unsur tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat tersendiri.
Menurut Usman Said dalam bukunya, Pengantar Ilmu Tasawuf (1981: 258), di Indonesia Tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Sumatra Selatan, Kalimantan, dan Jakarta. Dari sanalah, popularitasnya kemudian berkembang ke pelbagai daerah sekitar.
Syekh Samman memiliki murid Jawi (Indonesia) yang cukup dekat dengannya, yakni Syekh Abdussamad al-Falimbani. Karena itu, dialah yang umumnya dianggap sebagai orang pertama membawa dan memperkenalkan Tarekat Sammaniyah ke Nusantara, terutama Sumatra dan daerah sekitarnya.
Adapun di Jakarta, tarekat ini diperkenalkan oleh Syekh Abdurrahman al-Masri. Di Kalimantan Selatan, khususnya Martapura dan Banjarmasin, diperkenalkan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Syekh Muhammad Abdul Wahab Bugis, yang menjadi menantu Syekh al-Banjari. Ulama lainnya yang berperan besar dalam menyebarkan Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, pengarang kitab Ad-Durun Nafis (Permata yang Indah).
Menurut Abu Bakar Atjeh dalam Pengantar Ilmu Tasawuf (1979), ciri-ciri Tarekat Sammaniyah ini, antara lain, adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi, terutama sewaktu melafalkan “Laa ilaaha illa Allah.” Di samping itu, karakteristiknya juga terkenal dengan Ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia (Allah).
Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman, antara lain, adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemah lembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, serta sungguh-sungguh bertauhid kepada Allah.